Selasa, 08 Mei 2012

Review Jurnal Subjek Hukum Perdata


Review jurnal : PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA 
Pengarang             :  Sarah S. Kuahaty  
Sumber                   : unpatti.ac.id/paperrepo/ppr_iteminfo_lnk.php?id=107 

ABSTRACT
Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum.
Keyword: pemerintah, subjek hukum.


A. LATAR BELAKANG
Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari melakukan tindakan-tindakan bisnis dengan pihak non-pemerintah. Pemerintah misalnya perlu membeli barang atau jasa (government procurement) dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari.

Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
 Oleh karenanya agar prosedur pengadaan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, maka hubungan hukum yang tercipta haruslah dibingkai dengan hukum yang dikenal dengan kontrak.
Secara sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu. Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata.
Apabila telah di pahami bahwa yang dimaksud para pihak dalam kontrak adalah subjek hukum perdata, maka timbul pertanyaan apakah mungkin pemerintah yang tidak biasanya di persepsikan sebagai subjek hukum perdata tetapi subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau jasa?

B. PEMBAHASAN
1. Subjek Hukum perdata

Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum di kenal dengan istilah subjek hukum. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum. Karena masih ada subjek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk apa yang di sebut badan hukum.2 Istilah subjek Hukum berasal dari terjemahan rechsubject (Belanda) atau law of subject(Inggris).
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Didalam berbagai literatur di kenal 2 (dua) macam subjek hukum yaitu manusia (naturlijkperson) dan badan hukum(rechtperson).
Pada Dasarnya manusia mempunyai hak sejak di lahirkan, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Selainnaturlijkperson sebagai subjek hukum, maka subjek hukum lainnya adalah badan hukum rechtperson. Dalam pengaturannya tidak ada satu pasal pun yang memberikan pengertian badan hukum. Pengertian badan hukum hanya dapat di lihat dalam doktrin ilmu hukum, salah satunya menurut Rochmat Soemitro rechtperson adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.

2. Kedudukan Pemerintah

Dalam perspektif hukum publik negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi objek hukum administrasi negara.
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan melalui perwakilan yaitu pejabat.
Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Dengan demikian, kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah wakil dari jabatan pemerintahan.


3. Pemerintah Sebagai Subjek Hukum Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang Atau Jasa

Dalam pengadaan barang barang atau jasa, pemerintah akan membingkai hubungan hukum dengan penyedia barang atau jasanya dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau kontrak pengadaan jasa. Dalam konteks demikian pemerintah tidak dapat memposisikan dirinya lebih tinggi dari penyedia barang atau jasanya, hal ini dikarenakan dalam hukum perjanjian para pihak mempunyai kedudukan yang sama, sebagaimana tercermin dalam pasal 1338 BW.
Keterlibatan pemerintah dalam suatu hubungan kontraktual ini berbeda dengan kontrak komersial pada umumnya, karena karakteristik dari kontrak ini tidak murni lagi merupakan tindakan hukum privat tetapi juga sudah ada campuran hukum publik di dalamnya. Keterlibatan pemerintah dalam kontrak ini menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan.
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum dalam tindakan perdata, maka pemerintah merupakan badan hukum, karena menurut Apeldoorn negara, propinsi, kotapraja dan lain sebaginya adalah badan hukum.
Kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan subjek hukum privat lainnya yakni orang maupun badan hukum, Sebagai subjek hukum perdata pemerintah dapat mengikatkan dirinya dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa.
Kedudukan Pemerintah dalam kontrak juga tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata dalam peradilan umum.

Kesimpulan
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum.
Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan. 


Disusun Oleh :
·                     Annisa Meidiyoana (20210919)
·                     Dina Munawaroh (22210064)
·                     Dini Triana (22210079)
·                     Laraz Sekar Arum W (23210968)
·                     Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas   : 2EB05  

Review Jurnal Penyelesaian Sengketa

Review jurnal     : Prospek Arbitrase Online Sebagai Upaya Penyelesaian   Sengketa Di Luarnegeri  Pengadilan Ditinjau  Dari Hukum Bisnis
Pengarang                 : Solikhah, SH
Institusi                          : Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Sumber                          : http://eprints.undip.ac.id/18258/1/SOLIKHAH.pdf

ABSTRAK

Perkembangan dunia bisnis yang semakin pesat di satu sisi memberikan dampak positif yaitu memperoleh devisa namun di sisi lain dapat menimbulkan sengketa akibat wanprestasi
oleh salah satu pihak. Sehingga, diperlukan alternatif penyelesaian sengketa yang efektif untuk menangani aktivitas online. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji permasalahan bagaimanakah pengaturan arbitrase online sebagai alternatif penyelesaian sengketa di dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan arbitrase online sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat diterapkan di Indonesia mengingat dalam Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak diatur secara tegas mengenai arbitrase online, kelebihan, kekurangan dan hambatan prosedur acara arbitrase online apabila diterapkan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Spesifikasi penelitian adalah penelitian deskriptif analitis, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang hasil penelitian disertai dengan analisa mengenai peraturan perundang–undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori–teori hukum dan prospek arbitrase online sebagai upaya penyelesaian sengketa dari segi hukum bisnis. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen, kuesioner kepada BANI dan interview kepada pengacara yang menangani arbitrase.Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Arbitrase Online Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak diatur secara tegas di dalam sistem hukum Indonesia. Pengaturan arbitrase online secara eksplisit sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat diterapkan di Indonesia karena telah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008. Arbitrase online mempunyai beberapa kelebihan antara lain : waktu dan mekanisme arbitrase online cepat, murah dan sederhana, Kekurangan prosedur acara arbitrase online apabila diterapkan di Indonesia adalah tidak adanya seperangkat kelengkapan dan prosedural serta akses internet yang memadai. Arbitrase online memiliki prospek yang baik untuk menyelesaikan sengketa aktivitas online dilihat dari faktor hukum, potensi, teknologi, bisnis dan sosial. Akan tetapi untuk menerapkan arbitrase online mengalami hambatan yang meliputi : faktor peraturan, keamanan, infrastruktur, budaya, kebiasaan dan institusi. Cara mengatasi hambatan tersebut dengan disusunnya undang – undang baru mengatur arbitrase online dilengkapi dengan infrastruktur telekomunikasi,sistem keamanan dan lembaga arbitrase online.

Kata Kunci : Prospek Arbitrase Online, Penyelesaian Sengketa, bisnis
           
I.         Pendahuluan
             Pada umumnya di bagian akhir suatu perjanjian dicantumkan suatu klausula yang dapat menentukan penyelesaian sengketa. Klausula itu, misalnya, “apanila terjadi perselisihan atau sengketa sebagai akibat dari perjanjian tersebut maka para pihak akan memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi mereka”.
    Namun sengketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi di mana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.
    Sementara itu pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan, sehingga dinamakan sengketa.
    Pada umumnya di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk mnyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
    Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitase (perwasiatan), serta proses pnyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yangberbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi, mediasi.

II.       Permasalahan

1.   CARA – CARA PENYELASAIAN SENGKETA
    Di dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain :
a.    Negosiasi ( Negotiation )
    Proses tawar-menawar denganjalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak ( kelompok atau organisasi ) dan pihak ( kelompok atau organisasi ) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.Dalam hal ini negosiasi merupakan komunikasi dua rah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak Memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang  bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiaannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
b.    Mediasi
    Mediasi adalah proses pengikutserataan pihak ketiga dalam penyelesaiaan suatu perselisihan sebagai penasihat. Juga, terdapat beberapa definisi mengenai mediasi menurut Nolah Haley yaitu : dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
    Kemudian pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu pengertian mediasi mengandung unsur-unsur antara lain :
1.    merupaka sebuah proses penyelesaiaan sengketa berdasarkan perundingan
2.    mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan
3.    mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
4.    tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikkan,putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang ada, teteapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namur, putuasan tersebut dapat bertolak belakang dengan nilai atau norma yang berlaku.

c.    Konsiliasi
    Konsiliasi hádala usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaiaan.Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan statu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan teteapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal ¡ angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum , yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
    Dengan demikia, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.Konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup berarti. Oleh karena itu, konsiliator berkewajiabn untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya mengenai duduk persoalannya.Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator  memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak lepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam snegketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan si antara mereka.

d.    Arbitrase
    Arbitrase ádalah usaha perantara dalam melarikan sengketa.Penyelesaian sengketa melaluilembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internacional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.Arbitase hádala sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internacional. Pemerintah telah mengadakan pembaharuaan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatisf Penyelesaiaan Sengketa , dengan demikian  berdasarkan undang-undang tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaiaan statu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa cláusula arbitrase yang tercantum dalam statu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbal sengketa atau statu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbal sengketa.
    Sementara itu, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Statu perjanjian arbitrase tidak menjafi batal walaupun disebabkan oleh statu keadaan, seperti dibawah ini :
1.    meninggalnya statu pihak
2.    bangkrutnya salah satu pihak
3.    novasi ( pembaharuan utang )
4.    pewarisan
5.    berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok
Terdapat dua jenis arbitrase  yakni :
1.    Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
    Merupakan arbitrase yang dibentuk secra khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu arbitrase ini bersifat “insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan da fungís arbitrase ini lenyap berakhir dengan sendirinya.
2.    Arbitrase Institucional
    Merupakan statu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “hermanen”, sehingga arbitrase institucional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah Selebi diputus.

Sementara itu di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase, yakni badan arbitrase nasional indonesia ( BANI ) dan Badan arbitrase muamalat Indonesia ( BAMUI ).Pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung Sejak tanggal putusan ditetapkan. Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanyakepada pantera pengadilan negeri dan oleh pantera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.Dengan demikian , putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Keputusan arbirase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan Bandung, kasasi, atau memberikan perintah.Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetep.suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan. Dengan demikian,permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung Sejas hari pernyataan dan pendaftaram putusan arbitrase lepada pantera pengadilan negeri dimana permohonan tersebut diajukan lepada ketua pengadilan negeri.Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan Bandung ke mahkamah agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir.Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan Bandung dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan Bandung tersebut diterima oleh mahkamah agung.

e.    Peradilan
    Dalam hal ini terjadi statu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar iti diambil statu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang. Perbuatan “menghakimi sendiri” sangatlah tercela, tidak tertib, dan harus dicegah.tidak hanya dengan duatu pencegahan, tetapi diperlukan perlindungan dan penyelesaiaan. Oleh karena itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaiaan hádala negara. Untuk itu, negara menyerahkan lepada kekuasaan kehakima yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya yaitu hakim.
    Dalam menegakkan hukum. Hakim melaksanakan hukum yang berlaku dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan hádala penegak hokum

III.      Kesimpulan

Pada penjelasan yang sudah ada saya dapat mengambil kesimpulan yaitu dalam penyelesaian Sengketa dalam Ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantarnya melalui :
Negosiasi adalah Suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihak   lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
Mediasi adalah Pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna  mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa  menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
Arbitrase adalahKekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut   kebijaksanaan.
Perbedaan ketiga terletak dari peran mereka dalam menyelesaikan suatu pertikain yang ada. Negosiasi tidak menggunakan pihak ketiga untuk menyelesaikan suatu pertikaian, Arbitrase diantara kedua pihak yang bertikai memerlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan mereka tetapi peran pihak ketiga ini hanya sebagai pemberi saran dan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan suatu pertikaian tersebut. Sedangkan Arbitrase ialah Pihak ketiga yang dibutuhkan antara kedua pihak yang bertikai dan mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk memutuskan suatu permasalahan yang ada karena mereka tidak dapat menyelesaikan perikaian tersebut



Referensi
http://eprints.undip.ac.id/18258/1/SOLIKHAH.pdf


Disusun Oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05

Senin, 30 April 2012

Review Jurnal Hukum Dagang


Jurnal Hukum Dagang
Review jurnal : Perkembangan Wesel Dan Cek Sebagai Alat Bayar Giral
Pengarang      : Agung Sujatmiko*
Institusi         : Universitas Airlangga Surabaya
Sumber         : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf 

Abstrak
The payment in trade is not only use cash money, but also commercial paper, such us wissel and cheque. Despite the sameness between wissel and cheque as tool of payment, both are distinct. Whereas wissel is a debit payment, cheque is a cash one. Both of them are regulated by the KUHD, yet cheque is more popular than wissel. People prefer using cheque than wissel, because cheque has more advantages: quick, practical, and save. Recently cheque has been improved and advanced with various features, such as travellers cheque, crossed cheque, incaso cheque, cashier cheque, bilyet digital cheque.
Key words : trade, commercial paper, wissel, cheque.

I. Pendahuluan 
          Kemajuan teknologi dunia demikian pesat ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti diantaranya dalam hal orang menghendaki segala sesuatu tang menyangkut urusan perdagangan yang bersifat praktis dan aman serta dapat di pertanggungjawabkan, khususnya dalam lalulintas pembayarannya.
          Dalam hal ini orang tidak mutlak lagi menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun alat pembayaran kredit.
          Dalam dunia perbankan dikenal bermacam-mavam surat berharga, antara lain wesel, cek, aksep, dan bilyet giro. Ciri surat berharga itu adalah dapat dengan mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya, berfungsi sebagai alat legitimasi, dan dapat di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah sebagai mata uang.
          Salah satu surat berharga yang dipakai dalam lalulintas pembayaran secara giral adalah wesel dan cek. Wesel di atur dalam pasal 100 sampai dengan 177 KUHD, sementara cek diatur dalam pasal 178 sampai dengan pasal 229d.
          Beberapa faktor yang terkait efisiensi dan efektivitas dalam pembayarannya menjadi penyebab utama mengapa cek lebih populer dikalangan masyarakat luas. Hal ini di sebabkan karena dalam dunia perdagangan global, persoalan tentang tata cara pembayaran menjadi sangat penting, mengingat pengusaha selalu memerlukan dana segar dalam waktu cepat dan tepat untuk keperluan transaksinya dengan pihak ketiga. Oleh kaena itu, persoalan tentang alat bayar apa yang sesuai dengan tuntutan transaksi bisnis, akan berpengaruh pada intensitas penggunaan alat bayar giral yang digunakan.

II. Permasalahan
          Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah; Bagaimana perbedaan penggunaan wesel dan cek sebagai alat bayar giral dan, bagaimana perkembangan cek sebagai alat bayar giral?   


III. Pembahasan
     III.a Perbedaan Wesel dan Cek
          Berdasarkan persyaratan formil yang di atur dalam KUHD, ada beberapa perbedaan yang sangat prinsip antara wesel dan cek. Berdasarkan pasal 100 KUHD, persyaratan formil wesel adalah:
1. Nama surat wesel yang dimuatkan di dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan hari bayar (vervaldaag).
5. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan jika tempat tidak disebutkan secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran.
6. Nama orang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
7. Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya.
8. Tandatangan orang yang melakukannya (penarik).
Jika dibandingkan wesel, persyaratan formil cek berbeda. Sesuai dengan pasal 178 KUHD, persyaratan formil cek adalah:
1. Nama cek dimuat dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dibayarkan.
5. Tanggal dan tempat cek ditariknya.
6. Tandatangan orang yang mengeluarkan cek (penarik).

Jika dibandingkan dengan wesel, maka persyaratan cek lebih sedikit. Ada dua persyaratan yang berbeda dengan wesel yakni, pertama dalam cek tidak ada tanggal pembayaran, karena tanggal pembayaran cek adalah pada saat ditunjukkan pada bank. Perbedaan yang kedua di dalam cek tidak menyebutkan nama pemegang, karena wesel diterbitkan dengan klausula atas pengganti (aan order), sedangkan cek pada umumnya diterbitkan dengan kalusula atas tunjuk (aan toonder).


III.b Faktor-faktor Penggunaan Cek dan Perkembangannya
          Sebagai alat pembayaran yang sah, baik wesel maupun cek dapat digunakan untuk bertransaksi dalam dunia bisnis. Disamping itu juga dalam pembayaran antar manusia lainnya. Penggunaan wesel dan cek sebagai alat pembayaran dapat memudahkan urusan bisnis antar pihak. 
          Dalam perkembangannya cek dan wesel banyak di minati oleh masyarakat luas, namun dengan seiring bekembangnya waktu dan semakin maju tekhnologi yang ada cek sudah tidak menjadi alat pembayaran utama karena sudah gencarnya penggunaan kartu kredit. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan dan menunjang Sistem Perdagangan di Internasional (SPI), maka dalam pembayarannya perlu menggunakan Cek cBilyet Digital. Menurut Arianto Mukti Wibowo dalam hal ide tentang Rancangan Protokol Cek Bilyet Digital, transaksi di internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital sementara ini barulah SET (Secure Elektronik Transaction). Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di internet lebih aman.

IV. Kesimpulan
          Perbedaan utama antara wesel dan cek adalah wesel sebagai alat bayar kredit, sedangkan cek merupakan alat bayar tunai. Disebut alat bayar kredit, karena pembayaran wesel masih digantungkan pada tanggal pembayaran sesuai dengan jenis wesel yang bersangkutan, sedangkan cek tanggal pembayarannya pada saat ditunjukkan pada bank, dan tidak di gantungkan pada tanggal tertentu. 

Referensi
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf  

Disusun oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05
  

Review Jurnal Aspek-aspek Hukum Perjanjian


Aspek-aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan ( Suatu Analisis Keperdataan)
Riview Jurnal  :  Aspek-aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan ( Suatu Analisis Keperdataan)
Pengarang      :  Ari Wahyudi Hertanto
Sumber           : http://www.scribd.com/tjardamurar/d/55231080-Aspek-Hukum-Perjanjian-Distributor-Dan-Keagenan

Abstrak
Distributor terbentuk pada individu, perusahaan kemitraan, asosiasi atau hukum lain yang telah berdiri diposisi antara produsen dan pengecer. Mereka memiliki peran padapembelian, memberikan atau kontrak perdagangan terhadap barang konsumsi. SistemHukum Perdata Indonesia bahwa kontrak dikategorikan sebagai kontrak innominat olehjenis yang belum diatur dalam sistem. Dengan hormat melalui prinsip-prinsip tersebutmaka setiap kontrak yang ditandatangani menjadi efektif sebagai tindakan untuk pihakditandatangani. Penulis di sini juga menunjukkan pada tren praktek penerapan kontrakstandar yang dicetak bentuk kolektif. Dalam prakteknya masih memberikan kebebasansetiap selain itu kontrak standar dan untuk menghormati aditributor dan mengikat dirinya sendiri ke seluruh struktur bangunan kontrak.

I.          Pendahuluan
Lembaga distributor pada prakteknya bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun demikian seiring dengan berkembangnya praktek-praktek dunia usaha baik dalam skala domestik maupun internasional, sedikit memberikan suatu pengaruh trhadap bagaimana lembaga distributor dalam menjalankan usahanya. Tidak jarang lembaga usahanya adalah distributor tetapi justru pada prakteknya merupakan lembaga sub-distributor atau layaknya sebagai pedagang eceran.
Distributor dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk memudahkan penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Namun demikian dalam kurun waktu sebelum tahun 1990 distributor cenderung kurang diperhatikannya dalam segi hukum. Hal ini berbeda dengan lembaga keagenan yang oleh Pemerintah RI melauli Departemen Perdagangan dan Perindustrian telah dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk lembaga pengakuan agen tunggal, dimana disyaratkan bagi perusahaan asing yang akan memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia harus menunjuk perusahaan nasional yang akan merupakan agen tunggalnya dan sekaligus sebagai pemegang merk barang-barang tersebut.
Secara khusus ketentuan perundang-undangan yang mengatur distributor belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis misalnya, Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978 yang menetukan bahwa lamanya perjanjian harus dilakukan.

II.         Pembahasan

1.      Pengertian Lembaga Distributor dan Agen
Lembaga distributor ini adalah lembaga dalam perjanjian keagenan. Lembaga distributor ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian dalan agen tunggal itu tidak merangkap sebagai distributor, dan sebagai agen tunggal suatu perusahaan dapat menunjuk perusahaan lain sebagai distributor bagi barang-barang yang didatangkan oleh agen tunggal.
Kebutuhan akan adanya perusahaan yang dapat menjadi perantara guna memperluas  jaringan pemasaran barang-barang dan jasa dari produsen ke konsumen menyebabkan adanya perusahaan keagenan di Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum indonesia, terutama dalam hukum perdata dan hukum dagang tidak ditemukan ketentuan tentang keagenan.
Sebagaimana disampaikan dalam Laporan Pengkajian tentang beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/1993, dimana agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal.
Agen bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya barang atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal. Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen mengadakan transaksi dengan konsumen maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke konsumen.
Mengenai hubungan distributor dengan prinsipalnya, untuk memasarkan dan menjual barang-barang prinsipal dalam wilayah dan jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan bersama, distributor ditunjuk sebagai prinsipal. Dalam keadaan ini biasanya distributor bukan berkedudukan sebagai kuasa prinsipal tetapi bertindak atas untuk namanya sendiri. Distributor membeli sendiri barang-barang dari prinsipal untuk dijual kemudian.
2.      Perbedaan antar Distributor dengan Agen
Agen dan distributor sebenarnya merupakan dua terminologi yang berbeda dan mempunyai konotasi yang berbeda pula. Namun agen dan distributor mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama yaitu memberikan jasa perantara dari prinsipal ke pada konsumen di wilayah pemasaran tertentu.
a.      Agen :
o    Pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama prinsipal.
o    Pendapatan yang diterima berupa komisi.
o    Barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke konsumen.
o    Pembayaran atas barang yang telah diterima konsumen langsung kepada prinsipal

b.     Distributor :
o    Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri.
o    Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada konsumen kepentingannya sendiri.
o    Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya.
o    Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang-barangnya untuk kepentingan sendiri.

3.      Terjadinya Lembaga Distributor
Dalam rangka pelaksanaan dari penanaman modal dalam negeri yang tertera dalam UU no. 6 tahun 1968, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan.
Perjanjian distributor secara khusus tidak dikenal dalam KUHPer dan KUHD. Sehingga perjanjian itu dapat digolongkan dalam perjanjian innominaat (perjanjian tidak bernama), serta keberadaannya dimungkinkan berdasarkan asas konsesualisme.
4.      Dasar Hukum Perjanjian Distributor
Perjanjian distributor termasuk dalam perjanjian innomiaat (perjanjian tidak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPer. Sekalipun tidak diatur secara khusus tetapi harus tetap tunduk pada peraturan atau ketentuan umum Buku III KUHPer.
Dasar hukum dari perjanjian distributor adalah asas dari buku III yang memberikan kebebasan berkontrak dan sifatnya yang terbuka yang memungkinkan masyarakat dapat membuat segala macam perjanjian di luar perjanjian-perjanjian yang terdapat dlam KUHPer Buku III.

III.        Penutup
Lembaga Distributor terbentuk pada individu, perusahaan kemitraan, asosiasi atau hukum lain yang telah berdiri diposisi antara produsen dan pengecer. Mereka memilikiperan pada pembelian, memberikan atau kontrak perdagangan terhadap barangkonsumsi. Pemborong dari sebuah pedagang besar yang diberikan wewenang oleh produsen untuk menjual kepada pedagang eceran. Bentuk perjanjian yang diadakan oleh para pihak di dalam perjanjian kedistributoran termasuk dalam perjanjian innomiaat (perjanjian tidak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPer, dan tidak memuat hal-hal yang secara tegas dilarang oleh undang-undang.

Referensi
http://www.scribd.com/tjardamurar/d/55231080-Aspek-Hukum-Perjanjian-Distributor-Dan-Keagenan

Disusun Oleh :
·                     Annisa Meidiyoana (20210919)
·                     Dina Munawaroh (22210064)
·                     Dini Triana  (22210079)
·                     Laraz Sekar Arum W (23210968)
·                     Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05