Senin, 30 April 2012

Review Jurnal Hukum Dagang


Jurnal Hukum Dagang
Review jurnal : Perkembangan Wesel Dan Cek Sebagai Alat Bayar Giral
Pengarang      : Agung Sujatmiko*
Institusi         : Universitas Airlangga Surabaya
Sumber         : http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf 

Abstrak
The payment in trade is not only use cash money, but also commercial paper, such us wissel and cheque. Despite the sameness between wissel and cheque as tool of payment, both are distinct. Whereas wissel is a debit payment, cheque is a cash one. Both of them are regulated by the KUHD, yet cheque is more popular than wissel. People prefer using cheque than wissel, because cheque has more advantages: quick, practical, and save. Recently cheque has been improved and advanced with various features, such as travellers cheque, crossed cheque, incaso cheque, cashier cheque, bilyet digital cheque.
Key words : trade, commercial paper, wissel, cheque.

I. Pendahuluan 
          Kemajuan teknologi dunia demikian pesat ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan. Hal ini terbukti diantaranya dalam hal orang menghendaki segala sesuatu tang menyangkut urusan perdagangan yang bersifat praktis dan aman serta dapat di pertanggungjawabkan, khususnya dalam lalulintas pembayarannya.
          Dalam hal ini orang tidak mutlak lagi menggunakan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun alat pembayaran kredit.
          Dalam dunia perbankan dikenal bermacam-mavam surat berharga, antara lain wesel, cek, aksep, dan bilyet giro. Ciri surat berharga itu adalah dapat dengan mudah dipindahtangankan dari satu orang ke orang lainnya, berfungsi sebagai alat legitimasi, dan dapat di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah sebagai mata uang.
          Salah satu surat berharga yang dipakai dalam lalulintas pembayaran secara giral adalah wesel dan cek. Wesel di atur dalam pasal 100 sampai dengan 177 KUHD, sementara cek diatur dalam pasal 178 sampai dengan pasal 229d.
          Beberapa faktor yang terkait efisiensi dan efektivitas dalam pembayarannya menjadi penyebab utama mengapa cek lebih populer dikalangan masyarakat luas. Hal ini di sebabkan karena dalam dunia perdagangan global, persoalan tentang tata cara pembayaran menjadi sangat penting, mengingat pengusaha selalu memerlukan dana segar dalam waktu cepat dan tepat untuk keperluan transaksinya dengan pihak ketiga. Oleh kaena itu, persoalan tentang alat bayar apa yang sesuai dengan tuntutan transaksi bisnis, akan berpengaruh pada intensitas penggunaan alat bayar giral yang digunakan.

II. Permasalahan
          Dari uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas adalah; Bagaimana perbedaan penggunaan wesel dan cek sebagai alat bayar giral dan, bagaimana perkembangan cek sebagai alat bayar giral?   


III. Pembahasan
     III.a Perbedaan Wesel dan Cek
          Berdasarkan persyaratan formil yang di atur dalam KUHD, ada beberapa perbedaan yang sangat prinsip antara wesel dan cek. Berdasarkan pasal 100 KUHD, persyaratan formil wesel adalah:
1. Nama surat wesel yang dimuatkan di dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa surat itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan hari bayar (vervaldaag).
5. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan jika tempat tidak disebutkan secara khusus, maka tempat yang tertulis di samping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran.
6. Nama orang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
7. Tanggal dan tempat surat wesel ditariknya.
8. Tandatangan orang yang melakukannya (penarik).
Jika dibandingkan wesel, persyaratan formil cek berbeda. Sesuai dengan pasal 178 KUHD, persyaratan formil cek adalah:
1. Nama cek dimuat dalam teksnya sendiri dan diistilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
2. Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3. Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
4. Penetapan tempat dimana pembayaran harus dibayarkan.
5. Tanggal dan tempat cek ditariknya.
6. Tandatangan orang yang mengeluarkan cek (penarik).

Jika dibandingkan dengan wesel, maka persyaratan cek lebih sedikit. Ada dua persyaratan yang berbeda dengan wesel yakni, pertama dalam cek tidak ada tanggal pembayaran, karena tanggal pembayaran cek adalah pada saat ditunjukkan pada bank. Perbedaan yang kedua di dalam cek tidak menyebutkan nama pemegang, karena wesel diterbitkan dengan klausula atas pengganti (aan order), sedangkan cek pada umumnya diterbitkan dengan kalusula atas tunjuk (aan toonder).


III.b Faktor-faktor Penggunaan Cek dan Perkembangannya
          Sebagai alat pembayaran yang sah, baik wesel maupun cek dapat digunakan untuk bertransaksi dalam dunia bisnis. Disamping itu juga dalam pembayaran antar manusia lainnya. Penggunaan wesel dan cek sebagai alat pembayaran dapat memudahkan urusan bisnis antar pihak. 
          Dalam perkembangannya cek dan wesel banyak di minati oleh masyarakat luas, namun dengan seiring bekembangnya waktu dan semakin maju tekhnologi yang ada cek sudah tidak menjadi alat pembayaran utama karena sudah gencarnya penggunaan kartu kredit. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk melaksanakan dan menunjang Sistem Perdagangan di Internasional (SPI), maka dalam pembayarannya perlu menggunakan Cek cBilyet Digital. Menurut Arianto Mukti Wibowo dalam hal ide tentang Rancangan Protokol Cek Bilyet Digital, transaksi di internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital sementara ini barulah SET (Secure Elektronik Transaction). Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di internet lebih aman.

IV. Kesimpulan
          Perbedaan utama antara wesel dan cek adalah wesel sebagai alat bayar kredit, sedangkan cek merupakan alat bayar tunai. Disebut alat bayar kredit, karena pembayaran wesel masih digantungkan pada tanggal pembayaran sesuai dengan jenis wesel yang bersangkutan, sedangkan cek tanggal pembayarannya pada saat ditunjukkan pada bank, dan tidak di gantungkan pada tanggal tertentu. 

Referensi
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/27209113130.pdf  

Disusun oleh :
•    Annisa Meidiyoana (20210919)
•    Dina Munawaroh (22210064)
•    Dini Triana (22210079)
•    Laraz Sekar Arum W. (23210968)
•    Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05
  

Review Jurnal Aspek-aspek Hukum Perjanjian


Aspek-aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan ( Suatu Analisis Keperdataan)
Riview Jurnal  :  Aspek-aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan ( Suatu Analisis Keperdataan)
Pengarang      :  Ari Wahyudi Hertanto
Sumber           : http://www.scribd.com/tjardamurar/d/55231080-Aspek-Hukum-Perjanjian-Distributor-Dan-Keagenan

Abstrak
Distributor terbentuk pada individu, perusahaan kemitraan, asosiasi atau hukum lain yang telah berdiri diposisi antara produsen dan pengecer. Mereka memiliki peran padapembelian, memberikan atau kontrak perdagangan terhadap barang konsumsi. SistemHukum Perdata Indonesia bahwa kontrak dikategorikan sebagai kontrak innominat olehjenis yang belum diatur dalam sistem. Dengan hormat melalui prinsip-prinsip tersebutmaka setiap kontrak yang ditandatangani menjadi efektif sebagai tindakan untuk pihakditandatangani. Penulis di sini juga menunjukkan pada tren praktek penerapan kontrakstandar yang dicetak bentuk kolektif. Dalam prakteknya masih memberikan kebebasansetiap selain itu kontrak standar dan untuk menghormati aditributor dan mengikat dirinya sendiri ke seluruh struktur bangunan kontrak.

I.          Pendahuluan
Lembaga distributor pada prakteknya bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun demikian seiring dengan berkembangnya praktek-praktek dunia usaha baik dalam skala domestik maupun internasional, sedikit memberikan suatu pengaruh trhadap bagaimana lembaga distributor dalam menjalankan usahanya. Tidak jarang lembaga usahanya adalah distributor tetapi justru pada prakteknya merupakan lembaga sub-distributor atau layaknya sebagai pedagang eceran.
Distributor dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk memudahkan penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Namun demikian dalam kurun waktu sebelum tahun 1990 distributor cenderung kurang diperhatikannya dalam segi hukum. Hal ini berbeda dengan lembaga keagenan yang oleh Pemerintah RI melauli Departemen Perdagangan dan Perindustrian telah dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk lembaga pengakuan agen tunggal, dimana disyaratkan bagi perusahaan asing yang akan memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia harus menunjuk perusahaan nasional yang akan merupakan agen tunggalnya dan sekaligus sebagai pemegang merk barang-barang tersebut.
Secara khusus ketentuan perundang-undangan yang mengatur distributor belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh beberapa departemen teknis misalnya, Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978 yang menetukan bahwa lamanya perjanjian harus dilakukan.

II.         Pembahasan

1.      Pengertian Lembaga Distributor dan Agen
Lembaga distributor ini adalah lembaga dalam perjanjian keagenan. Lembaga distributor ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian dalan agen tunggal itu tidak merangkap sebagai distributor, dan sebagai agen tunggal suatu perusahaan dapat menunjuk perusahaan lain sebagai distributor bagi barang-barang yang didatangkan oleh agen tunggal.
Kebutuhan akan adanya perusahaan yang dapat menjadi perantara guna memperluas  jaringan pemasaran barang-barang dan jasa dari produsen ke konsumen menyebabkan adanya perusahaan keagenan di Indonesia. Sementara itu dalam sistem hukum indonesia, terutama dalam hukum perdata dan hukum dagang tidak ditemukan ketentuan tentang keagenan.
Sebagaimana disampaikan dalam Laporan Pengkajian tentang beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/1993, dimana agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal.
Agen bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya barang atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal. Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen mengadakan transaksi dengan konsumen maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke konsumen.
Mengenai hubungan distributor dengan prinsipalnya, untuk memasarkan dan menjual barang-barang prinsipal dalam wilayah dan jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan bersama, distributor ditunjuk sebagai prinsipal. Dalam keadaan ini biasanya distributor bukan berkedudukan sebagai kuasa prinsipal tetapi bertindak atas untuk namanya sendiri. Distributor membeli sendiri barang-barang dari prinsipal untuk dijual kemudian.
2.      Perbedaan antar Distributor dengan Agen
Agen dan distributor sebenarnya merupakan dua terminologi yang berbeda dan mempunyai konotasi yang berbeda pula. Namun agen dan distributor mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama yaitu memberikan jasa perantara dari prinsipal ke pada konsumen di wilayah pemasaran tertentu.
a.      Agen :
o    Pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama prinsipal.
o    Pendapatan yang diterima berupa komisi.
o    Barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke konsumen.
o    Pembayaran atas barang yang telah diterima konsumen langsung kepada prinsipal

b.     Distributor :
o    Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri.
o    Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada konsumen kepentingannya sendiri.
o    Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya.
o    Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang-barangnya untuk kepentingan sendiri.

3.      Terjadinya Lembaga Distributor
Dalam rangka pelaksanaan dari penanaman modal dalam negeri yang tertera dalam UU no. 6 tahun 1968, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan.
Perjanjian distributor secara khusus tidak dikenal dalam KUHPer dan KUHD. Sehingga perjanjian itu dapat digolongkan dalam perjanjian innominaat (perjanjian tidak bernama), serta keberadaannya dimungkinkan berdasarkan asas konsesualisme.
4.      Dasar Hukum Perjanjian Distributor
Perjanjian distributor termasuk dalam perjanjian innomiaat (perjanjian tidak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPer. Sekalipun tidak diatur secara khusus tetapi harus tetap tunduk pada peraturan atau ketentuan umum Buku III KUHPer.
Dasar hukum dari perjanjian distributor adalah asas dari buku III yang memberikan kebebasan berkontrak dan sifatnya yang terbuka yang memungkinkan masyarakat dapat membuat segala macam perjanjian di luar perjanjian-perjanjian yang terdapat dlam KUHPer Buku III.

III.        Penutup
Lembaga Distributor terbentuk pada individu, perusahaan kemitraan, asosiasi atau hukum lain yang telah berdiri diposisi antara produsen dan pengecer. Mereka memilikiperan pada pembelian, memberikan atau kontrak perdagangan terhadap barangkonsumsi. Pemborong dari sebuah pedagang besar yang diberikan wewenang oleh produsen untuk menjual kepada pedagang eceran. Bentuk perjanjian yang diadakan oleh para pihak di dalam perjanjian kedistributoran termasuk dalam perjanjian innomiaat (perjanjian tidak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPer, dan tidak memuat hal-hal yang secara tegas dilarang oleh undang-undang.

Referensi
http://www.scribd.com/tjardamurar/d/55231080-Aspek-Hukum-Perjanjian-Distributor-Dan-Keagenan

Disusun Oleh :
·                     Annisa Meidiyoana (20210919)
·                     Dina Munawaroh (22210064)
·                     Dini Triana  (22210079)
·                     Laraz Sekar Arum W (23210968)
·                     Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas  : 2EB05

Minggu, 29 April 2012

Review Jurnal Wajib Daftar Perusahaan

Review Jurnal : Analisis Optimalisasi Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/2007 Tentang Penyelenggaraan Daftar Perusahaan
Pengarang : Asep Ferry Bastian

Abstrak
Pelayanan Publik yang prima sudah menjadi paradigma dalam membangun dan menciptakanpemerintah yang baik saat ini. Dalam sektor perdagangan, sebagai institusi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi meningkatkan perekonomian. Kementerian perdagangan merupakan sektor penggerak pertumbuhan dan daya saing serta menciptakan kemakmuran rakyat yang berkeadilan.
Salah satu instruen dalam kebijakan perdagangan untuk melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 37/M-DAG/PER/2007 tentang penyelenggaraan pendaftaran perusahaan, mengatur mengenai bagaimana penyelenggaraan wajib daftar perusahaan di daerah dimana pemerintah daerah memiiki kewajiban untuk melaksanakanwajib daftar perusahaan. Pada kenyataannya, sampai saat ini wajib daftar perusahaandirasakan belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan diantaranya adalah belum adanya peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, Pemerintah Daerah menganggap bahwa WDP adalah sebagai instrumen untuk mendapatkan Pendaptan Asli daerah,sehingga tujuan dari diwajibkannya WDP tidak tercapai. Guna optimalisasi implementasi ketentuan mengenai WDP dalam rangka meningkatkan pelayanan prima dari kementerian perdagangan, maka permasalahan ini dianalisa dengan menggunakan analisa SWOT.

Dari hasil analisa SWOT yang telah dilakukan maka strategi yang perlu dilakukan oleh organisasi pelaksana yaitu perlu meningkatkan kualitas peraturan tentang WDP adalah melalui “kebijakan revisi peraturan tentang WDP dan Sosialisasi tentang WDP”.

A.      Pendahuluan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan pada Pasal 18 dinyatakan bahwa Menteri Perdagangan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan daftar perusahaan. Bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut Direktorat Bina Usaha Perdagangan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang usaha perdagangan.
Dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pendaftaran perusahaan memiliki fungsi :
1.       Penyiapan perumusan kebijakan di bidang kelembagaan usaha, jasa perdagangan, usaha dagang asing, keagenan, pendaftaran perusahan, dan laporan keuangan tahunan perusahaan.
2.       Penyiapan pelaksanaan kebijakan bidang kelembagaan usaha, jasa perdagangan, usaha dagang asing, keagenan, pendaftaran perusahaan, dan laporan keuangan tahunan perusahaan.
3.       Penyiapan penyusunan pedoman, standar, nrma, prosedur dan kriteria di bidang kelembagaan usaha, jasa perdagangan, usaha dagang asing, keagenan, pendaftaran perusahaan, dan laporan keuangan tahunan perusahaan.
4.       Penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksana kebijakan di bidang kelembagaan usaha, jasa perdagangan, usaha dagang asing, keagenan, pendaftaran perusahaan, dan laporan keuangan tahunan perusahaan.
5.       Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.

Pada saat ini Pendaftaran Perusahaan peranannya dianggap sangat penting, dikarenakan pada saat globalisasi seperti sekarang Daftar Perusahaan merupakan salah satu alat informasi resmi pemerintah yang digunakan untuk menjamin perkembangan dan kepastian berusaha bagi dunia usaha. Dengan daftar perusahaan menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendorong peningkatan investasi.

B.      Permasalahan
Adapun lingkup pembahasan yang menjadi pokok permasalahan adalah terkait dengan belum optimalnya implementasi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 37/Permendag/Per/2007. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yaitu : masih lemahnya penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak memberikan informasi mengenai identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha yang didirikan, belum ada penerapan sanksi bagi penyelenggara pendaftaran perusahaan dalam memberikan data dan informasi serta belum didukung dengan Peraturan Pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 32/1982. Untuk mencari akar permasalahannya dilakukan analisis masalah dan mencari penyebab-penyebab dari masalah tersebut selanjutnya dicari pemecahannya melalui Analsis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) yaitu Metode Analisis Manajemen melalui proses identifikasi keadaan lingkungan eksternal dan internal.

C.      Pembahasan
1.       Wajib Daftar Perusahaan
Daftar perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang selanjutnya  disebut UU-WDP dan/atau peraturan pelaksanaannya yang memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari Kantor Pendaftaran Perusahaan.
Tujuan Pendaftaran perusahaan adalah untuk mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha. Untu itu setiap perusahaan yang berkedudukan di Indonesia wajib di daftarkan dalam daftar perusahaan. Pendaftran perusahaan wajib dilakukan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan setelah perusahaan tersebut menjalankan usahanya, jenis perusahaan yang wajib daftar perusahaan yang wajib didaftarkan sebagaimana dalam ketentuan adalah Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV), dan Perusahaan Perorangan.
2.       Pihak-pihak yang terlibat sesuai SK, Mendag No. 37/M-DAG/PER/9/2007
a.       Pejabat penerbit TDP adalah Kepala Dinas yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang perdagangan di wilayah kerjanya atau pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu atau pejabat lain yang ditetapkan berdasarkan Menteri Perdagangan.
b.      Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri adalah pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab mengenai penyelenggara pendaftaran perusahaan di tingkat pusat di seluruh Indonesia.
c.       Penyelidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan disebut PPNS-WDP adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bekerja pada unit teknis yang bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggara wajib daftar perusahaan  di lingkungan kantor.
3.       Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara yang bertujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.       Strategi Pembangunan Sektor
Adalah ketentuan mengenai garis besar rencana pembangunan. Strategi pembangunan bersifat kualitatif, sedangkan rencana pembangunan memuat sasaran dan target pembangunan serta dana dan waktu yang disediakan untuk pelaksanaan yang bersifat kuantitatif, baik volume maupun waktu yang akan digunakan, disertai letak sasaran pembangunan yang lebih pasti dan lebih rinci.
5.       Prinsip-prinsip Kepemerintahan yang baik
Gambaran mutu suatu administrasi publik bercirikan kepemerintahan yang baik adalah akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan aturan hokum.
6.       Teknik Analisis Manajemen
Teknik Analisis Manajemen secara Komprehensif dengan melihat dari berbagai aspek dari berbagai fakta yang riil organisasi yaitu : SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Treath).

D.      Kesimpulan
Pelayanan publik yang prima sudah menjadi paradigma dalam membangun dan menciptakan pemerintahan yang baik saat ini. Dalam sektor perdagangan, sebagai institusi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi meningkatkan perekonomian, Kementerian Perdagangan merupakan sektor penggerak pertumbuhan dan daya saing serta menciptakan kemakmuran rakyat yang berkeadilan.
Salah satu instrument dalam kebijakan perdagangan untuk melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan, dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat adalah undang-undang RepubliK Indonesia Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Kebijakan ini memiliki manfaat sebagai satana informasi resmi bagi semua pihak yang berkaitan dengan identitas yang menyangkut kegiatan dunia usaha dan perusahaan yang didirikan di wilayah Indonesia. Dengan daftar perusahaan menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendorong peningkatan investasi.

Review Jurnal Praktek Monopoli


Review Jurnal    : PRAKTEK MONOPOLI DI INDONESIA PRA DAN PASCA UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Pengarang          : Pandu Soetjiptro
Institusi                : Universitas Diponegoro
Sumber                : http://eprints.undip.ac.id/18669/1/PANDU_SOETJITRO.pdf

ABSTRAK
Penulisan ini didasarkan pada praktek Monopoli dan Persaingan tidak sehat atau persaingan curang diantara para pelaku usaha di Indonesia sejak masa orde baru bahkan sampai saat inipun dampaknya masih sangat merugikan konsumen dan pelaku bisnis yang lain, khususnya bagi industri yang kurang bonafit secara finansial meskipun persaingan itu sendiri sangat diperlukan dalam berbagai jenis usaha untuk menambah kreatifitas, efektifitas dan daya saing dalam industry itu sendiri. Tetapi karena sistem birokrasi dan perekonomian di Indonesia sarat dengan sistem persekongkolan yang tidak sehat maka persaingan itu sendiri menjadi terdistorsi. Kesempatan yang diperoleh oleh industri kecil untuk mendapat akses dan masuk kedalam industri dan pasar yang ada sangat minim, tetapi yang sangat menguntungkan bagi industri kecil mereka masih dapat eksis karena memiliki keistimewaan produksinya tidak bisa ditiru oleh pengusaha industri besar. Menggunakan tenaga kerja sendiri dengan upah yang sangat rendah bahkan dapat dikerjakan oleh keluarganya sendiri serta mempunyai akses bahan baku yang murah dan sederhana.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh kejelasan tentang latar belakang terjadinya praktek monopoli maupun persaingan tidak sehat yang berlaku dalam proses bisnis di Indonesia, baik itu bisnis dalam bentuk konglomerasi maupun dalam bentuk industri kecil serta untuk memperoleh penjelasan adakah terjadi perubahan kondisi persaingan bisnis di Indonesia sesudah adanya UU No.5 tahun 1999.
Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa sebenarnya monopoli dan persaingan dapat berjalan secara seiring dalam kegiatan bisnis, karena monopoli bisa bersifat ”natural” yaitu dari kegiatan bisnis yang kecil dapat menjadi bisnis yang besar atau sekaligus bisnis raksasa. Hanya kendalanya Industri Kecil di Indonesia masih berjalan secara tradisional dan kurang greget mencari akses untuk modal maupun pemasarannya.
Oleh karena itu dapat direkomendasikan bahwa pemerintah harus terus memperbaiki struktur perekonomian Indonesia agar pelaku bisnis dapat berkompetisi secara fair, sistem birokrasi prekonomian harus ditata dengan lebih baik serta memberikan pembinaan dan akses masuk kedalam “industri” kepada pelaku bisnis dengan modal lemah/ industri kecil.

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Penulisan
Dalam dunia usaha, persangan harus dianggap positif. Dalam Teori Ilmu Ekonomi, persaingan yang sempurna adalah suatu kondisi pasar yang ideal. Paling tidak ada empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu. Asumsi tersebut adalah:
1.      Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga produk atau jasa,
2.      Barang dan jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar
3.      Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar dari pasar “perfect mobility of resource”
4.      Konsumen dan pelaku pasar memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal
Persaingan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada konsumen. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas baik.
Dibeberapa negara, hukum persaingan dikenal dengan istilah, “Antitrust Laws” atau antimonopoli. Di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah hukum persaingan atau anti monopoli. Di Indonesia hukum anti monopoli diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan prakek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini merupakan pengaturan secara khusus dan komprehensif yang berkaitan dengan persaingan antar pelaku usaha.
Munculnya persaingan menjadikan setiap pelaku pasar dituntut untuk terus menemukan metode produksi yang baru untuk memperbaiki kualitas dan harga barang maupun jasa yang dihasilkannya, sehingga terciptalah efisiensi ekonomi, yang berarti pelaku usaha dapat menjual barang dengan harga yang wajar. Hukum persaingan diciptakan dalam rangka mendukung terbentuknya sistem ekonomi pasar, agar persaingan antar pelaku usaha dapat tetap hidup dan berlangsung secara sehat, sehingga konsumen dapat terlindungi dari ajang ekploitasi bisnis.
Pada tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-undang Anti Monopoli). Pasal 3 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tujuan pembentukan Undang-undang ini adalah untuk :
1.                Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
2.                Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan usaha yang sehat sehinggan menjamin adanya kepastian kesempatan yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil,
3.                Mencegah praktek monopoli atau praktek usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha,
4.                Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Sehubungan dengan lahirnya Undang-undang no.5 tahun 1999 maka Indonesia harus menata kembali kerangka perekonomiannya, yang selama 32 tahun terpola seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Orde Baru, dimana perekonomian Indonesia bergantung sepenuhnya pada kebijakan penguasa pada saat itu.

LANDASAN TEORI
Penelitian ini dimulai dari pembahasan tentang hukum persaingan dan monopoli, peran dunia usaha, industri kecil serta ketentuan-ketentuan dalam UU No.5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian “persaingan” berasal dari kata “saing” kata saing mempunyai persamaan kata dengan “lomba” (atau mengatasi, dahulu mendahului) sehingga kata “persaingan” mempunyai arti usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perorangan (perusahaan Negara pada bidang perdagangan produksi, persenjataan dan sebagainya).
Marshall C. Howard berpendapat bahwa persaingan merupakan istilah umum yang dapat digunakan untuk segala sumber daya yang ada. Persaingan adalah “jantungnya” ekonomi pasar bebas. Menurut teori, suatu sistem ekonomi pasar bebas memiliki ciri : adanya persaingan, bebas dari segala hambatan, tersedianya sumber daya yang optimal. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha dipaksa untuk menghasilkan produk-produk berkualitas.
Dalam upaya merebut konsumen sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang menghasilkan barang selalu berusaha memperbaiki mutu barang sejenis agar lebih laku dipasaran. Dalam menghadapi persaingan, pelaku usaha selalu berusaha melakukan diversifikasi dan ekstensifikasi usaha, oleh karena itu tidak mengherankan apabila pelaku usaha berhasrat menguasai berbagai sektor industri strategis, mulai dari industri hulu hingga hilir, sehingga salah satu dampak negatif dari persaingan adalah kepemilikan suatu usaha berada dalam satu tangan (konglomerat) sehingga ia bisa mengendalikan pasar yang akhirnya akan mengarah pada iklim persaingan yang tidak sehat.
Membahas mengenai hukum persaingan yang merupakan salah satu bagian dari hukum ekonomi, tentu tidak akan lepas dari pembahasan dari mengenai Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang berfungsi sebagai panduan normatif dalam menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi nasional. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 tersirat bahwa tujuan pembangunan ekonomi yang hendak dicapai haruslah berdasarkan kepada demokrasi yang bersifat kerakyatan yaitu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melindungi kepentingan rakyat melalui pendekatan kesejahteraan dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan bebas, memberikan petunjuk bahwa jalannya perekonomian nasional tidak diserahkan begitu saja kepada pasar, tetapi memerlukan peaturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya perekonomian nasional.
Pengaturan perekonomian dengan perundang-undangan tujuannya adalah untuk menciptakan struktur ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pengaturan tersebut untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal sebagai berikut :
a.                   Sistem Free Fight Liberalism yang dapat menumbuhkan eksploitasi manusia dan bangsa lain, yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan kelemahan struktur ekonomi nasional dalam posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia.
b.                  Sistem etatisme dalam arti bahwa negara berserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c.                   Persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan social.
Praktek monopoli akan terjadi bila :
  1. Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan tertentu saja, tanpa melalui Undang-undang.
  2. Monopoli atau kedudukan monopolistik diperoleh dari kerjasama antara dua atau lebih organisasi sejenis baik dalam bentuk pengaturan persaingan diantara mereka sendiri maupun dalam bentuk peleburan atau fusi.

METODELOGI
Penulisan ini membutuhkan data yang akurat yang dititikberatkan kepada data primer dari instansi yang terkait dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat dijawab secara tuntas. Penulis mengemukakan metode sebagai berikut:
  1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis empiris karena penulisan ini dimaksudkan untuk membahas secara teoritik mengenai praktek monopoli dan persaingan serta pengaruhnya bagi persaingan usaha serta pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan cara meneliti data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau data primer dengan cara melakukan pengambilan data dari instansi terkait.

  1. Spesifikasi Penelitian
Penulisan ini bersifat diskriptif analistis karena secara spesifik penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai praktek monopoli di Indonesia dan pengaruhnya terhadap persaingan usaha serta pengaturannya sebelum dan sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dari analisis ini dapat diperoleh kesimpulan umum mengenai persaingan bisnis yang paling ideal dan tidak mengakibatkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
  1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penulisan ini adalah Library Research.

PEMBAHASAN
  1. Praktek Monopoli Sebelum dan Sesudah Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Monopoli adalah ciri khas bisnis pada Era Orde Baru yang berdampak sangat merugikan bagi perkembangan bisnis dan ekonomi di Indonesia. Kata monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti penjual tunggal. Di Amerika sering digunakan istilah anti trust untuk pengertian yang sepadan dengan “anti monopoli” atau istilah dominasi yang sering dipakai oleh masyarakat Eropa, yang artinya sepadan dengan istilah monopoli. monopoli sebagai suatu keistimewaan yang berupa hak eksklusif dalam menjalankan perdagangan atau dalam memproduksi barang khusus, serta dapat mengontrol penjualan dan distribusi produk tertentu.
Ciri khas pemerintah Orde Baru adalah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dari pada pembenahan masalah Negara yang lain, misalnya perbaikan masalah hukum. Dalam perekonomian ada beberapa aktor pelaku pasar yaitu pelaku usaha atau perusahaan dan asosiasi bisnis atau asosiasi pelaku usaha yang juga memainkan peranan penting dalam berbagai industri.
Asosiasi bisnis atau trade association menjadi wadah bagi para pelaku usaha untuk berkomunikasi di antara pelaku usaha dalam industri yang sama dan berpengaruh dalam penentuan kebijakan anggota dan industri mereka. Eksistensi asosiasi bisnis dibutuhkan dan intens digunakan sebagai wadah untuk pelatihan, komunikasi, mencari peluang bisnis, kerjasama, medium komunikasi dengan pemerintah, sumber informasi, mencari peluang pasar baru, menetapkan standar regulasi industri, menetapkan aturan atau perjanjian dalam bisnis bahkan melihat strategi atau peluang apa yang terbuka dalam menembus pasar global.
Sering secara umum pelaku usaha dalam asosiasi melakukan kesepakatan di antara mereka sendiri. Perjanjian diantara mereka tidak semuanya berakibat negatif bagi persaingan dan mungkin saja menghasilkan keuntungan. Perjanjian yang dilakukan dapat ditujukan untuk mengurangi risiko usaha, menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika melakukan riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan distribusi.
Pelaku usaha dan pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produksi sehingga akan menyebabkan harga naik, menetapkan harga yang sama, dan merugikan kepentingan konsumen  dan perekonomian. Tindakan bersama antara beberapa pelaku usaha dan pesaingnya membentuk oligopoli informal baru yang menghasilkan beberapa pemain yang mendominasi pasar dan selanjutnya menciptakan distorsi pasar yang akan menciptakan juga monopolis baru.
Ada lagi beberapa kegiatan yang dilakukan oleh dan difasilitasi oleh asosiasi pelaku usaha yang sifatnya anti persaingan. Sebagaimana diatur dalam konteks UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kegiatan lain itu misalnya Penetapan Harga (price fixing). Sesuai dengan isi pasal 5 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 penetapan harga didefinisikan sebagai berikut : “bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan / atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”.

  1. Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli
Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat, mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang monopoli.
Ketentuan UU Antimonopoli baru dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang membuat perjanjian jika perjanjian tersebut mempunyai akibat terhadap pasar yang bersangkutan, yaitu terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang bersifat rule of reason adalah ketentuan pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 11, pasal 16, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24. Perjanjian horisontal yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli adalah sebagai berikut :
·                                 Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/pembeli.
Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.

·               Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:
*        Diskriminasi harga sempurna
Di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
*        Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
*        Diskriminasi harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis.

·                                 Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan / atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas.

·                                 Pemboikotan
Pemboikotan salah satu hambatan persaingan diatur di dalam ketentuan pasal 10 UU Antimonopoli. Syarat-syarat terpenuhinya suatu pemboikotan adalah saat para pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar yang sama membuat suatu perjanjian diantara mereka. Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat bagi pelaku usaha yang lain, yaitu menghambat untuk masuk kepasar yang bersangkutan (pasal 10 ayat 1). Hal yang lazim dilakukan dalam pemboikotan adalah pemboikotan pemasaran atau pembelian suatu barang atau jasa tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha yang saling bersaing sehingga merugikan pelaku usaha yang lain (pasal 10 ayat 2).

·                                 Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu. Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
*        Adanya perjanjian di antara pelaku usaha
*        Mengatur jumlah produksi
*        Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa
*        Bermaksud untuk mempengaruhi harga
*        Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

·                                 Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa membuat suatu perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan, yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian perilaku pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
Pasal 22 mengatur larangan persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang biasanya dilakukan dalam tender adalah untuk mempengaruhi harga yang akan ditawarkan oleh peserta tender. Yang menjadi penghambat dalam penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dalam aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll) biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.

RESUME
           Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.
           Sesudah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dalam kegiatan bisnis dilarang jika terbukti merugikan pelaku usaha lain, konsumen, masyarakat maupun negara. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha dapat diancam dengan sanksi administratif dan sanksi pidana. Ketentuan Undang-udang No. 5 Tahun 1999 telah memenuhi prinsip Undang-undang Anti Monopoli dalam mengatur Struktur Pasar dan perilaku bisnis, karena memuat gabungan dua pengaturan yang di masukkan dalam satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha atau Competition Act.
           Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara resmi yang dibentuk oleh negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat dilakukan oleh pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
           Pelaksanaan Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada pelaku usaha yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang harus dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat. Sehingga tidak mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara secara keseluruhan, tetapi tetap harus mengutamakan persaingan usaha yang sehat dan jujur.


REFERENSI             

Disusun Oleh :
  • Annisa Meidiyoana (20210919)
  • Dina Munawaroh (22210064)
  • Dini Triana (22210079)
  • Laraz Sekar Arum W (23210968)
  • Nia Ismatu Ulfa (24210956)
Kelas                           : 2EB05